KELOMPOK 1 :
1.
AMETIKA SIANTURI
2.
ARNITASARI SIREGAR
3.
M. SUMAR AINISYAH PUTRA
4.
PRATAMA GIRSANG
5.
PUTRI NUR PRATIWI
6.
RELIMAN GEA
Latihan :
1. Simpulkanlah pengertian aliran-aliran
filsafat pendidikan!
2. Kritisilah salah satu aliran pendidikan
sesuai dengan pilihan anda, dan gunakanlah pendapat para ahli atau filsuf dari
sumber lain (buku atau internet)!
3.
Susunlah rencana pembelajaran sesuai
dengan konsep atau pandangan aliran yang kamu kritisi tersebut!
Jawaban :
1.
Filsafat pendidikan adalah
terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam pandangan dan kaidah bidang
pendidikan yang berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, masyarakat, dan
dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam lapangan pendidikan.
Aliran-aliran filsafat pendidikan :
1.1. Filsafat
pendidikan idealisme
Idealisme
adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan
dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi
dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut
sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed
back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi, bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki
kehidupan yang
bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan
mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan
pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar
manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara
tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam
kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
1.2. Filsafat
pendidikan realisme
Pendidikan adalah kebutuhan dasar
dan hak yang mendasar bagi manusia dan kewajiban penting bagi semua masyarakat
untuk memastikan bahwa semua anak-anak dilahirkan dengan pendidikan yang. Tujuan
pendidikan realisme adalah untuk “ penyesuaian diri dalam hidup dan mampu
melaksanakan tanggung jawab sosial. Pendidikan bertujuan agar siswa dapat
bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup
bahagia, dengan jalan memberikan pengetahuan esensial kepada siswa. Pengetahuan
tersebut akan memberikan keterampilan-keterampilan yang penting untuk memperoleh
keamanan dan hidup bahagia.
1.3. Filsafat
pendidikan materialisme
Materilisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak
menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1956).
Materialisme belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori
pendidikan. Filsafat positivisme sebagai cabang dari materialism lebih
cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil
pendidikan secara factual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat
pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan. Dikatakn positivisme, karena
mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan
fakta-fakta,berdasarkan data-data yang nyata,yaitu yang mereka namakan positif.
1.4. Filsafat
pendidikan pragmatisme
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara
memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi
pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata
susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di
atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling
menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial.
Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan. Dalam proses belajar siswa harus
diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya
menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus
menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
1.5. Filsafat
pendidikan eksistensialisme
Filsafat ini dalam pendidikan
sangat erat hubungannya, dimana keduanya membahas masalah yang esensi yaitu
manusia, hubungan antar manusia, hidup, hakikat kpribadian, dan kebesan. Pendidikan,
proses pembelajaran, harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan
peserta didik, tidak ada pemaksaan pengetahuan, sikap dan keterampilan,
melainkan ditawarkan. Menuntun pesertas didik agar dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Guru hendaknya memberikan kebebasan kepada peserta
didikuntuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu
menemukan makna dari kehidupan mereka.
1.6. Filsafat
pendidikan progresivisme
Bagi
progresivisme, gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah
antara sekolah dan masyarakat ditentang oleh progresivisme. Menurut
progresivisme, sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk
kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat
perlu dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah.
Sekolah hendaknya merupakan suatu mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Menurut
progresivisme, pendidikan selalu dalam proses perkembangan dan sebagai suatu
rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Progresivisme menekankan enam
prinsip mengenai pendidikan dan belajar
1.7. Filsafat
pendidikan parenialisme
Perenialisme memandang edukation as cultural
regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan yang ideal. Bagi perenialist bahwa
nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi
tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu
peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang
abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
1.8. Filsafat
pendidikan esensialisme
Essensialisme adalah suatu teori pendidikan yang
menegaskan bahwa pendidikan selayaknya bergerak dalam kegiatan pembelajaran
tentang keahlian dasar, seni dan sains yang telah nyata-nyata berguna dimasa
lalu dan tetap demikian dimasa yang akan datang. Para essensialis percaya bahwa
beberapa keahlian esensi atau dasar mempunyai kontribusi yang besar terhadap
keberadaan manusia seperti membaca, menulis, aritmatika dan perilaku sosial
yang beradab. Keahlian dasar ini merupakan hal yang selayaknya dan memeng
dibutuhkan sehingga selalu ada dalam setiap kurikulum sekolah dasar yang baik.
Pada kurikulum sekolah pertama, kurikulum dasar seharusnya terdiri dari
sejarah, matematika, sains dan sastra. Kurikulum perguruan tinggi terdiri dari
dua komponen yaitu mata kuliah umum dan sains. Dengan menguasai mata kuliah ini
yaitu yang berkaitan dengan lingkungan sosial dan alam, seorang siswa
mempersiapkan diri untuk berpartisipasi ssecara efektif dalam masyarakat
beradab. Jadi intinya kurikulum hendaknya disusun secara sistematis, dari mulai
yang sederhana sampai yang kompleks. Kurikulum direncanakan dan disusun
berdasarkan pikiran yang matang agar manusia dapat hidup harmonis dan
menyesuaikan diri dengan sifat-sifat kosmis.
1.9. Filsafat
pendidikan rekonstruksionalisme
Pendidikan harus dilaksanakan di
sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi
nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan mendasari kekuatan-kekuatan
ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi
kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang
benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat
hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia, bukan untuk
menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan politik,
melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para
warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka
bersama.
2.
Filsafat Pendidikan Materialisme
Meurut Karl Marx
bahwa kenyataan yang ada adalah dunia materi, dan di dalam suatu susunan
kehidupan yaitu masyarakat pada muatannya terdapat kesadaran-kesadaran yang
menumbuhkan ide serta teori serta pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran
yang nyata, sebabnya faktor yang mempunyai peran untuk melahirkannya, yaitu
adanya pendorong atau daya yang digunakan materi atau benda, dan pada
prinsipnya kecenderungan manusia untuk berbuat dan bertindak yang disebabkan
oleh faktor materi yang ada disekitarnya (Hadjono, 1986 : 121). Menurut Karl
Marx ini adalah manusia dalam pendidikan bahwa mempunyai ketergantungan
tersendiri dalam kepentingannya sehingga dengan berbagai cara yang dilakukan
manusia untuk memperolehnya. Ini tergantung pada kondisi dan kepentingan individu
dalam sekolah atau dunia pendidikan, sehigga yang menjadi korban dalam
pendidikan adalah masyakat pada umumnya dan peseta didik pada khususnya.
Namun dalam
filsafat kebenaran pendidikan sesungguhnya tidak pada keadaan materi saja
manusia itu memperolehnya namun dengan kebenaran yang dilakukan. Dewasa ini,
dalam dunia pendidikan jarang seorang guru memiliki kebenaran esensi dalam
mengajar. Untuk pendidikan, materialisme memandang bahwa proses belajar
merupakan proses kondisionisasi lingkungan serta menekankan pentingnya
keterampilan dan pengetahuan akademis empiris sebagai hasil kajian sains atau
alam, sedangkan perilaku sosial sebagai hasil belajar. Tetapi yang sebenarnya
bahwa gagasan dalam pendidikan tidak mementingkan kepentingan pribadi sendiri,
namun secara umum dipikirkan. Seperti halnya teori Karl Marx yang telah banyak
mengalami kritikan.
Pemikiran Marx yang mengkritik
idealisme lebih mengarah pada politik, sosial dan ekonomi karena arah filsafat
Marx lebih ke filsafat ekonomi. Marx tidak menyukai adanya perbedaan kelas
dalam kehidupan bermasyrakat (Hardiman, 2007). Proses dialektika ini dia
metaforakan dengan proses pergelutan antar kelas sosial. Menurut Marx sendiri
ada dua kelas sosial. Kelas pertama adalah kelas borjuis (antitesis), artinya
kelas borjuis ini merupakan orang-orang di masyarakat yang menguasai modal
dalam produksi, seperti pengusaha, pemegang saham, bankir dan lain-lain di
sistem ekonomi kapitalis. Kelas yang kedua adalah kelas proletar, artinya kelas
proletar ini terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki modal untuk
memproduksi barang, namun merekalah alat produksi yang sebenarnya dimiliki oleh
para orang borjuis. Kedua kelas ini-kelas borjuis dan kelas proletar-selalu
bertentangan karena Marx selalu beranggapan bahwa kelas borjuis akan selalu
menindas orang-orang proletar (dinamika antara tesis dan antitesis) karena itu
kaum proletar berusaha melawan kaum borjuis. Proses sintesis yang diinginkan
oleh Marx adalah revolusi buruh, yaitu hilangnya batas antara kelas borjuis dan
kelas proletar dan kemudian tercipta masysrakat tanpa kelas (Hardiman, 2007).
Jadi, materialisme merupakan hasil
dari kritik dua pengikut Hegel yang disebut pula Hegelian. Kedua tokoh
materialisme yang merupakan murid Hegel memiliki pandangan yang berbeda. Para
pengikut materialisme merupakan orang yang atheis.
3.
Rencana pembelajaran filsafat
materialisme adalah sebagai berikut :
3.1.
Pandangan Filsafat Ideologi
Pendidikan yang Terjadi Sekolah
Idealisme
sangat concern tentang keberadaan sekolah. Pendidikan harus terus
eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan
spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Para murid yang menikmati
pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh
pendidikan dengan mendapatkan pendekatan .(approach) secara khusus.
Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Seorang guru
mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu
ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa
kali spontanitas anak yang muncul.
Bagi aliran
idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk
spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa
apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat
utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model
pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem
pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya
berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat
murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Pendidikan
idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi
kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis
dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada
akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya
persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu
pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak
pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai
dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling
menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan
antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan
dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam
sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai :
1.
Guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik
2.
Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu
pengetahuan dari siswa
3.
Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik
4.
Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga
disegani oleh para murid
5.
Guru menjadi teman dari para muridnya
6.
Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan
gairah murid untuk belajar
7.
Guru harus bisa menjadi idola para siswa
8.
Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan
kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya
9.
Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif
10.
Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang
menjadi bahan ajar yang diajarkannya
11.
Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar
sebagaimana para siswa belajar
12.
Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil
13.
Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan
demokrasi
14.
Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus
lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak
daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya
senantiasa aktual.
3.2.
Pandangan Filsafat
Matrealistis Pendidikan yang Terjadi Sekolah
Materialisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep
pendidikan secara eksplisit. Rahkan menurut Henderson (1959), materialisme
belum pemahaman menjadi pentir dalam menentukan sumber teori pendidikan.
Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari
materalisme lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang
mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara faktual. Memilih aliran
positivisme berarti menolak filsafat pendidkan dan mengutamakan sains
pendidikan. Sains pendidikan sangat berguna dalam penelitian-penelitan ilmiah,
yang berupaya memeriksa (memverifikasi) berbagai hipotesis hubungan antarfaktor
(antarvariabel). Sains pendidikan yang dipergunakan dalam mempelajari
pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, ialah berdasarkan pada hasil
temuan dan kajian ilmiah dalam psikologi, yaitu psikologi aliran
“behaviorisme”.
Menurut behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya
tergantung pada kegiatan fisik, yang menipakan berbagai kombinasi dan materi
dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir,
dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi, baik materi yang berada
dalam tubuh manusia maupun materi yang berada di luar tubuh manusia.
Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam
menyusun teori pendidikan terutarna dalam teori belajar, yaitu apa yang disebut
dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh EL. Thorndike dan B.F.
Skinmer. Pendidikan, dalam hal ini proses belajar, merupakan proses
kondisionisasi lingkungan, misalnya dengan mengadakan percobaan terhadap anak
yang tidak pernah takut pada kucing, akhirnya ia menjadi takut kepada kucing.
Dengan percobaan ini, pengikut behaviorisme ingin menunjukkan bahwa manusia
dapat dibentuk. Menurut behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan
melalui kondisi lingkungan. Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang
berubah, dapat diamati, dan dapat diukur (Materialisme dan posi tivisme). Hal
ini mengandung implikasi bahwa proses pendidkan (proses belajar) menekankan
pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil
kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar. Sebagai aliran yang
dilandasi positivisme dan matebehaviorisme mengabaikan faktor intrapsikhis.
Hal ini beraru dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang
terdapat dalam diri siswa (misainya harapan siswa, potensialitas siswa, kemauan
siswa, dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal, dalam arti
ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan factor
internal siswa yang belajar. Henderson memberikan kritik pada materialisme,
dengan mengemukakan bahwa secara filosofi maupun psikologis, materialisme tidak
memadai, karena tidak mungkin menerangkan bagaimana materi dalam gerak dapat
berubah menjadi kesusilaan, nilai-nilai spirtual, aktivitas kreatif dari akal
itu sendiri. Keberatan lain terhadap behavionisme yang dilandasi materialisme
adalah karena behaviorisme menerangkan segala sesuatu secara mekanistis.
Manusia merupakan mesin reaksi, sehingga pendidikan hanyalah soal mempengaruhi
refleks dan perbuatan saja, yaitu perilaku yang hanya dapat diamati dan dapat
diukur. Behaviorisme sama sekali tidak memberikan perhatian terhadap
penghayatan seseorang tentang nilai-nilai, melainkan bagaimana perbuatan dan
keterampilan dalam menampilkan nilai tersebut.
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme
behavionsme yang bersurnber pada filsafat meterialisme, sebagai berikut :
1. Tema Manusia
yang baik dan efisien dahasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara
ilmiah dan seksama
2. Tujuanpendidikan.
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk
tangungjawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks
3. Kurikulum
Isi. pendidikan mencak pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan
diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku
4. Metode.
Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant
conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi
5. Kedudukan
siswa. Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar.
Pelajaran sudah dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut
untuk belajar
6. Peranan
guru. Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan.
Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa